Kisah Politik di Indonesia |
Kisah Politik di Indonesia
Apakah Anda merasakan dan mengetahui dinamika politik yang ada di Indonesia? Bagaimana menurut Anda perkembangan politik pada awal kemerdekaan sampai reformasi? Untuk lebih mengerti dan memahami dinamika politik yang ada di negara kita mari pelajari dengan sungguh-sungguh.
Sejak masa Kemerdekaan hingga awal Reformasi tahun 1998, keadaan politik di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Misalnya, Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal, kemudian sistem itu diubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Perubahan-perubahan tersebut tentu saja membawa pengaruh terhadap perkembangan politik di Indonesia.
1. Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945 -1950)
Pada awal Kemerdekaan, situasi politik Indonesia masih mencari bentuknya. Hal ini ditandai dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa itu. Berkaitan dengan hal itu, maka ada beberapa kejadian yang perlu Anda ketahui.
a. Pembentukan Struktur Pemerintahan
Saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara kita belum memiliki struktur pemerintahan yang lengkap karena Indonesia belum menentukan kepala pemerintahan dan belum menetapkan sistem administrasi wilayah yang jelas. Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia segera membentuk kelengkapan pemerintahan, yaitu sebagai berikut:
1) Pengesahan UUD 1945
UUD 1945 ditetapkan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945 pada rapat tersebut, Indonesia memiliki landasan dalam melaksanakan kehidupan bernegara.
2) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia juga dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam pemilihan tersebut Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia
3) Pembagian Wilayah Indonesia
Pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 1945, diputuskan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi diseluruh bekas jajahan Belanda. Kedelapan provinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Borneo (Kalimantan), Maluku, Sulawesi, Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Sumatera, dan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
4) Pembentukan Kementerian
Setelah pembagian wilayah Indonesia, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dilanjutkan untuk membentuk kementerian. Dalam rapat ini diputuskan pembentukan kementerian-kementerian, di antaranya adalah sebagai berikut:
- a) Departemen Dalam Negeri g) Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan
- b) Departemen Luar Negeri h) Departemen Sosial
- c) Departemen Kehakiman i) Departemen Pertahanan
- d) Departemen Keuangan j) Departemen Penerangan
- e) Departemen Kemakmuran k) Departemen Perhubungan
- f) Departemen Kesehatan l) Departemen Pekerjaan Umum
5) Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI kembali menyelenggarakan rapat pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tugas dan wewenang KNIP adalah menjalankan fungsi pengawasan dan berhak ikut serta dalam menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
6) Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan
Pada tanggal 23 Agustus, Presiden Soekarno mengesahkan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai badan kepolisian yang bertugas menjaga keamanan. Selanjutnya, pada tanggal 5 Oktober, dibentuk tentara nasional yang disebut dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
b. Perubahan Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS)
Sejak merdeka, pemerintah Indonesia berupaya menjalankan pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Namun kenyataannya, hal-hal yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan politik di Indonesia. Situasi politik tersebut diantaranya adalah adanya persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pada 23 Agustus – 2 November 1949, konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag Belanda. Pihak – pihak Yang Menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) diantaranya:
- Delegasi Republik Indonesia diketuai oleh Mohammad Hatta.
- Delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang akan mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia, diketuai oleh Sultan Hamidi II
- Delegasi Belanda diketuai oleh J.H. van Maarseveen.
Dalam konferensi ini Belanda mengakui RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pengakuan Belanda terhadap RIS memberikan keuntungan bagi Indonesia karena Belanda mengakui secara formal kedaulatan penuh negara Indonesia di bekas wilayah Hindia Belanda.
Meskipun membawa keuntungan, pengakuan ini juga membawa dampak Negatif, republik Indonesia yang semula berbentuk negara kesatuan harus berubah menjadi negara serikat. Akibatnya, Republik Indonesia hanya menjadi salah satu negara bagian saja dari RIS. Adapun wilayah RIS seperti berikut.
1) Negara Bagian
Negara bagian meliputi Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra, Negara Sumatra Timur, dan Republik Indonesia.
2) Satuan-Satuan Kenegaraan
Satuan kenegaraan meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak Besar, Bangka Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
3) Daerah Swapraja
Daerah Swapraja meliputi kota Waringin, Sabang, dan Padang. Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD (Undang-Undang Dasar). Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat yang diberi nama Konstitusi RIS. Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku, tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia.
c. Indonesia Kembali Menjadi Negara Kesatuan
Dalam perkembangannya, rencana Belanda untuk tetap menanamkan pengaruhnya di Indonesia melalui pembentukan RIS justru mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan sejak Proklamasi Kemerdekaan, sebenarnya rakyat Indonesia menghendaki bentuk negara kesatuan. Terbentuknya RIS benar-benar dianggap tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945. Pemerintahan RIS dinilai sebagai bentuk warisan penjajah yang dimaksudkan untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Indonesia.
Tidak sampai satu tahun setelah pembentukan RIS, muncul berbagai pergerakan di negara-negara bagian. Negara-negara ini hendak bergabung dengan RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada awal bulan Mei 1950, terjadi penggabungan negara-negara bagian dalam negara RIS sehingga hanya tinggal tiga negara bagian, yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Republik Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam piagam persetujuan tanggal 19 Mei 1950.
Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan, diperlukan suatu UUD Negara Kesatuan. Oleh karena itu, dibentuklah UUDS 1950 (Undang Undang Dasar Sementara) sebagai pengganti Konstitusi RIS. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Perkembangan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, keadaan politik di Indonesia mengalami banyak perubahan. Keadaan tersebut dapat diketahui dari dinamika politik yang terjadi. Misalnya, pergantian kabinet yang terjadi dalam waktu singkat dan diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
a. Keadaan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
Setelah kembali menjadi negara kesatuan, Indonesia menganut sistem Demokrasi liberal (1950–1959) dengan pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, pemerintahan dipimpin perdana menteri. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara.
Sistem politik pada masa Demokrasi Liberal mendorong berkembangnya partai-partai politik karena sistem Demokrasi liberal menganut sistem multi partai.
Pada masa Demokrasi Liberal ini, terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Rata-rata masa kepemimpinan kabinet hanya berumur satu tahun. Kabinet-kabinet tersebut adalah sebagai berikut:
- Kabinet Natsir (September 1950–Maret 1951)
- Kabinet Sukiman (April 1951–Februari 1952)
- Kabinet Wilopo (April 1952–Juni 1953)
- Kabinet Ali Sastroamidjojo I ( Juli 1953–Juli 1955)
- Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
- Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956–Maret 1957)
- Kabinet Djuanda (Maret 1957–Juli 1959)
Meskipun terjadi banyak pergantian kabinet, pemerintah pada masa Demokrasi liberal berhasil menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kali di Indonesia. Pemilu pertama ini dilaksanakan pada tahun 1955. Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaan pemilu tahun 1955 adalah sebagai berikut:
1) Tanggal 29 September 1955 Pada tanggal 29 September 1955, dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota-anggota DPR yang berjumlah 272 orang. Pemilu ini ternyata dimenangkan oleh empat partai politik, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI
2) Tanggal 15 Desember 1955 Pada tanggal 15 Desember 1955, dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota dewan konstituante yang akan bertugas menyusun UUD yang tetap. Anggota dewan konstituante ditetapkan 520 orang. Anggota dewan ini dilantik pada tanggal 10 November 1956.
b. Keadaan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pergantian kabinet dalam waktu singkat menjadikan keadaan politik menjadi tidak stabil dan membahayakan bagi kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, muncul gagasan melaksanakan model pemerintahan Demokrasi Terpimpin dengan cara kembali kepada UUD 1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Adapun isi dari Dekrit Presiden tersebut adalah dibubarkannya Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950; dibentuknya MPRS dan DPAS.
Berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diterima baik oleh rakyat Indonesia, bahkan DPR menyatakan diri bersedia untuk bekerja atas dasar UUD 1945. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berakhirlah demokrasi liberal dan digantikan dengan demokrasi terpimpin. Demikian pula mulai saat itu, sistem Kabinet Parlementer ditinggalkan dan diganti menjadi kabinet Presidensial.
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin bertujuan untuk menata kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang tidak stabil pada masa Demokrasi Liberal berdasarkan UUD 1945. Namun pada masa Demokrasi Terpimpin, justru terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD 1945 dan pemerintah cenderung menjadi sentralistik karena terpusat pada Presiden saja. Kondisi tersebut menjadikan posisi Presiden sangat kuat dan berkuasa. Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945 pada masa demokrasi Terpimpin di antaranya adalah sebagai berikut:
- Prosedur pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) karena anggota MPRS diangkat oleh Presiden, seharusnya dipilih melalui pemilu.
- Prosedur pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), karena lembaga ini anggotanya ditunjuk oleh Presiden dan diketuai oleh Presiden. Padahal, tugas dari DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan memberi usulan kepada pemerintah.
- Prosedur pembentukan Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), karena anggota DPRGR ditunjuk oleh Presiden dan DPR hasil pemilu 1955 justru dibubarkan oleh Presiden. Padahal, kedudukan DPR dan presiden adalah seimbang. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat memberhentikan Presiden.
- Penetapan Manifesto politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Seharusnya GBHN disusun dan ditetapkan oleh MPR.
- Pengangkatan presiden seumur hidup.
- Penyimpangan Politik Luar Negeri bebas aktif. Penyimpangan ini dilakukan dengan melaksanakan politik poros, yaitu dengan membentuk Poros Jakarta–Peking (Indonesia dan Tiongkok), Poros Jakarta–Phnom penh – Hanoi – Peking – Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, Tiongkok, dan Korea Utara). Hal ini berarti Indonesia lebih memilih blok sosialis/komunis. Padahal Indonesia merupakan salah satu anggota gerakan non Blok. Dengan demikian politik luar negeri Indonesia menjadi tidak bebas dan aktif lagi.
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 20 Desember 1956. Adapun secara singkat terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut:
1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) dengan kekuatan pendukung Tentara Islam Indonesia (TII). DI/TII menyatakan diri lepas dari pemerintah Republik Indonesia.
Aksi yang dilakukan oleh DI/TII Jawa Barat di antaranya pada waktu pasukan Siliwangi kembali dari Jawa Tengah ke Jawa Barat dalam peristiwa “Long March Divisi Siliwangi” mencoba dihalangi dan berusaha untuk menarik anggota-anggota TNI ke pihak pemberontak. Kontak senjata antara TNI Divisi Siliwangi dengan DI/TII tidak dapat dihindarkan. Pertempuran pertama terjadi pada tangga 25 Januari 1949 di desa Antralina, Malangbong. Pemerintah cepat tanggap dan segera bertindak menumpas pemberontakan DI/TII. Pada tahun 1960 Kodam VI Siliwangi ditugaskan untuk menumpas gerombolan DI/ TII bersama dengan rakyat. Kodam VI Siliwangi menjalankan operasi “Pagar Betis” dan “Bratayudha”. Akhirnya pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo dan pengikutnya dapat ditangkap di Gunung Geber, Majalaya. Oleh Mahkamah Angkatan Darat, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati.
2) Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung tersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
3) Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
a) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
b) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
c) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
a) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
b) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian.
Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
4) Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan Ketika memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah.
Sistem pemerintahan pada masa Demokrasi Terpimpin memberi peluang PKI untuk memperkuat posisinya di segala bidang. Setelah posisinya kuat, PKI mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan G30S/PKI. Pemberontakan ini berhasil digagalkan. Namun, sejak gagalnya G30S/PKI pada tahun 1965 sampai awal tahun 1966, pemerintah tidak segera melaksanakan penyelesaian politik terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran rakyat karena bertentangan dengan rasa keadilan.
Peristiwa G30S/PKI dan melambungnya harga-harga barang pokok dan memicu terjadinya demonstrasi dan kekacauan di berbagai tempat. Guna memulihkan keamanan negara, Presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
3. Perkembangan Politik Pada Masa Orde baru (1966-1998)
Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah yang disebut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun isi Tritura adalah sebagai berikut:
- Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya
- Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI
- Turunkan harga barang atau perbaikan ekonomi
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno di Indonesia. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Masa Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga tahun 1998. Dalam rentang waktu tersebut, politik di Indonesia mengalami berbagai perubahan.
a. Penataan Stabilitas Politik dengan Membubarkan PKI
Berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas di wilayah Indonesia.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Letjen Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai terlibat dalam G30S/PKI. Setelah itu, ia memperbaharui kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan Lembaga legislatif termasuk MPRS dan DPRGR dari orang-orang yang dianggap terlibat G-30-S.
b. Pemilihan Umum
Selama masa orde baru, pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pemilu 1997 merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde baru.
c. Peran Ganda (Dwifungsi) ABRI
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah memberikan peran Peran ganda pada ABRI, yaitu peran pertahanan dan keamanan (Hankam) dan peran dalam mengatur negara. Peran ganda ABRI dikenal dengan sebutan Dwi fungsi ABRI. Dengan peran ganda ini ABRI diizinkan untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, termasuk walikota, pemerintah provinsi, duta besar, dan jabatan lainnya. Setelah berakhirnya masa kepemimpinan orde baru Dwifungsi ABRI mulai dihapuskan.
d. Integrasi Timor Timur Ke Wilayah Republik Indonesia
Keinginan rakyat Timor Timur untuk bersatu dengan Indonesia dituangkan dalam petisi Rakyat Timor Timur yang disampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia. Petisi ini ditandatangani oleh gubernur PSTT dan ketua DPR Timor Timur pada tanggal 31 Mei 1976. Isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menerima dan mengesahkan integrasi rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sepenuhnya tanpa referendum. Pada tanggal 7 Juni 1976 Petisi Rakyat Timor Timur itu diterima oleh Presiden Suharto di Jakarta.
Perhatian mengenai korupsi dan nepotisme, memusat di sekitar pemerintahan Suharto, yang berlangsung sejak 1990 akhirnya nasibnya berakhir setelah krisis ekonomi tahun 1997. Pada bulan Mei 1998 demonstrasi mahasiswa meningkat di kota-kota besar, dan harga-harga yang terus meningkat menyebabkan frustrasi dan kemarahan massa. Keadaan itulah yang menjadi penyebab berakhirnya masa Orde Baru.
4. Perkembangan Politik Pada Masa Reformasi (1998 – Sekarang)
a. Suharto Mengundurkan Diri dari Jabatan Presiden
Enam mahasiswa terbunuh selama demonstrasi di Universitas Trisakti, Jakarta pada 12 Mei 1998. Pada hari itu juga terjadi kerusuhan dan penjarahan, lebih dari 500 orang tewas dalam kekacauan tersebut. Kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Surakarta tanggal 14-15 Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk di Indonesia sejak tahun 1965. Kerusuhan itu juga merusakkan harapan untuk segera memulihkan ekonomi. Di Surakarta sedikitnya 28 orang tewas. Suharto memutuskan untuk meninggalkan pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo dan kembali ke Indonesia.
Pada tanggal 19 Mei Suharto muncul di TV dan menyatakan ia tidak akan turun, tetapi akan mengadakan pemilu baru. Beberapa tokoh Islam seperti Nurcholish Majid dan Abdurrahman Wahid bertemu Suharto pada saat ribuan mahasiswa berdemonstrasi turun ke jalan. Pada tanggal 20 Mei 1998 Amien Rais menunda demonstrasi raksasa setelah 80.000massa menduduki Lapangan Merdeka. Akhirnya, Suharto mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 9 pagi dan B.J. Habibie ditunjuk sebagai presiden baru Indonesia.
b. Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Pada tanggal 22 Mei 1998, Habibie mengumumkan Kabinet Reformasi. Sebagai Langkah pertama, ia mengganti Letjen Prabowo dari Panglima Kostrad. Tetapi mahasiswa tidak senang dengan adanya presiden baru yang mereka lihat juga merupakan perpanjangan rezim Suharto. Kabinet Reformasi diresmikan pada tanggal 23 Mei 1998, dan Habibie berjanji akan menggelar pemilu satu tahun kemudian.
Pada tanggal 12 November 1998, terjadi lagi demonstrasi di Jakarta yang mengakibatkan 60 orang luka-luka. Pada hari berikutnya, 9 mahasiswa tewas di dekat Universitas Atma Jaya Jakarta. Akhirnya, MPR memutuskan, pemilu akan digelar pada bulan Juni 1999, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah dibentuk.
Akhirnya pada tanggal 7 Juni 1999, pemilu digelar yang diikuti 48 partai besar dan kecil. Jumlah kursi di MPR diumumkan pada tanggal 1 September 1999. Dari 48 partai hanya 21 partai yang bisa mendapatkan kursi di MPR, dan hanya 6 partai yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilu tahun 2004 yaitu PDI-P (153 kursi) Golkar (120 kursi) PPP (58 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (51 kursi), Partai Amanat Nasional (34 kursi), dan Partai Bulan Bintang, (13 kursi).
c. Pasca Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Pemerintah pada masa Reformasi telah berupaya melaksanakan berbagai pembenahan-pembenahan di bidang politik, antara lain sebagai berikut:
1) Reformasi dibidang ideologi negara dan konstitusi.
2) Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan benar-benar melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai berikut:
- a) Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
- b) Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
- c) Memberdayakan MPR.
- d) Perlu pemisahan jabatan ketua MPR DPR.
3) Reformasi Lembaga kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut.
- a) Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan instruksi presiden.
- b) Membatasi penggunaan hak prerogatif.
- c) Menyusun kode etik kepresidenan.
4) Pembaharuan kehidupan politik, yaitu memberdayakan partai politik untuk menegakkan kedaulatan rakyat dengan mengembangkan sistem multi partai yang demokratis tanpa intervensi pemerintah.
5) Penyelenggaraan pemilu.
6) Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan profesional yang tidak memihak.
7) Militer dan dwifungsi ABRI dihapuskan secara bertahap sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi pertahanan dan keamanan. Pada era Reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999, Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI berubah menjadi TNI, yaitu angkatan darat, laut, dan udara.
8) Sistem pemerintah daerah dengan sasaran memberdayakan otonomi daerah dengan asas desentralisasi.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Pilpres 2014 diselenggarakan pada 9 Juli 2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan suara sebesar 53,15%, mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Pilpres 2019 diselenggarakan pada 17 April 2019, diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Jokowi-Amin dengan nomor urut 01 dan Prabowo-Sandi dengan nomor urut 02. Pemilihan umum pada tahun ini diselenggarakan bersamaan dengan pemilu legislatif. Dan Pemilihan Umum ini dimenangkan oleh pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan perolehan suara 55,50%, diikuti oleh pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan perolehan suara 44,50%.