Genre Drama

 

Genre Drama

Genre Drama 

a. Hakikat Drama

Drama merupakan salah satu genre sastra dengan kekhasan pada unsur dialog. Hal ini sebagaimana pendapat Suryaman (2010: 10) yang menyatakan drama sebagai karya sastra yang berupa dialog-dialog dan memungkinkan untuk dipertunjukkan sebagai tontonan. Meskipun memiliki kemungkinan untuk dipertunjukkan, tetapi drama tidak selalu dipentaskan. Wahyudi (cari:99) menyatakan bahwa ada drama untuk dibaca saja meskipun di dalamnya terdapat dialog atau cakapan dan petunjuk pemanggungan. Drama seperti ini lazim disebut closet drama atau drama baca. Sementara itu, ada juga drama yang dipentaskan yang disebut sebagai drama pentas.

Naskah drama atau teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog dan isinya membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984). Hal ini sejalan dengan pendapat Wiyanto (2002: 31-32) yang menyatakan naskah drama sebagai karangan yang berisi cerita atau lakon. Prosa fiksi berbentuk cerita atau memiliki alur yang dikisahkan secara langsung. Berbeda dengan prosa fiksi, penuturan cerita dalam naskah drama ditampilkan melalui dialog para tokohnya.

Drama menampilkan alur dengan konflik kehidupan. Karya sastra ini mendramatisasikan konflik-konflik yang dialami oleh manusia, meskipun tokoh- tokoh yang diangkatnya tidak selalu manusia. Drama bisa mengangkat tokoh binatang, tokoh hantu, tokoh benda-benda di alam, tokoh mainan, dan sebagainya. Dengan mendramatisasikan kehidupan manusia, pembaca teks drama atau penonton pementasan drama akan mendapatkan amanat yang bermanfaat untuk kehidupannya. Dengan alasan ini, pembelajaran drama di sekolah sangat relevan untuk mengayakan pengalaman jiwa para siswa, sekaligus membangun karakter.

b. Unsur Drama

1) Alur

Alur atau plot atau kerangka cerita merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Waluyo, 2001:8). Menurut Wiyanto (2002:24), secara rinci, perkembangan plot drama ada enam tahap, yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Tahap eksposisi disebut pula tahap perkenalan. Wujud perkenalan ini berupa penjelasan untuk mengantarkan penonton pada situasi awal lakon drama. Pada tahap konflik, mulai muncul insiden (kejadian). Insiden pertama inilah yang memulai plot sebenarnya, karena insiden merupakan konflik yang menjadi dasar sebuah drama (Wiyanto 2002: 25).

Selanjutnya, cerita berkembang ke dalam tahap komplikasi sehingga menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan rumit. Banyak persoalan yang saling terkait yang menimbulkan tanda tanya. Konflik pun akhirnya memuncak dan masuk pada tahap krisis. Klimaks berarti titik pertikaian paling ujung yang dicapai pemain protagonis (pemeran kebaikan) dan pemain antagonis (pemeran kejahatan). Tahap resolusi merupakan penyelesaian konflik. Jalan keluar penyelesaian konflik-konflik yang terjadi sudah mulai tampak jelas. Tahap terakhir adalah keputusan. Pada tahap ini semua konflik berakhir dan sebentar lagi cerita selesai. Dengan selesainya cerita, maka pementasan drama selesai (Wiyanto, 2002: 26).

Struktur alur drama ini sejalan dengan struktur alur dalam buku siswa

Struktur Alur Drama (Kemdikbud, 2018)

Menurut Wiyanto (2002:12), alur drama disajikan dalam urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian terbesar dari drama. Pergantian babak bisa ditandai dengan layar yang turun atau lighting sejenak dimatikan. Pergantian babak biasanya menandai pergantian latar (di panggung pergantian properti), baik latar waktu, atau latar tempat/ruang, atau keduanya. Adegan adalah bagian dari babak. Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana. Pergantian adegan tidak selalu disertai pergantian latar.

2) Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang menggerakkan alur drama. Cara menggambarkan tokoh disebut penokohan. Penokohan ini erat hubungannya dengan perwatakan. Menurut Wiyanto (2002: 27), karakter atau perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama. Watak para tokoh ini dapat digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional), yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis (Waluyo, 2003:17-18). Dimensi fisiologis terkait dengan kondisi fisik tokoh seperti umur, jenis kelamin, warna kulit, tinggi rendah badan, kurus gemuk badan, suara, dan sebagainya. Dimensi psikologis terkait dengan kondisi psikis seperti watak, mentalitas, standar moral, temperamen, keadaan emosi, dan sebagainya. Dimensi sosiologis terkait dengan kondisi sosial yang melingkupinya, seperti pekerjaan atau mata pencaharian, agama, ras, kelas sosial, dan sebagainya.

Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh-tokoh dalam drama dapat dikategorikan dalam tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung cerita. Dalam drama biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang didukung oleh tokoh-tokoh pendukung lainnya. Tokoh antagonis adalah tokoh penentang cerita. Dalam drama biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita. Tokoh tritagonis adalah tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis (Waluyo, 2003:16).

3) Latar

Waluyo (2001: 23) menyatakan bahwa setting atau tempat kejadian cerita disebut latar cerita. Secara lebih lengkap, Wiyatmi (2006: 51) menyatakan latar dalam naskah drama meliputi latar tempat, waktu, dan suasana yang ditunjukkan dalam teks samping. Dalam pentas drama, latar divisualisasikan di atas pentas dengan tampilan, dekorasi, dan tata panggung yang menunjukkan situasi tertentu.

Untuk memahami latar, maka seorang pembaca naskah drama, para aktor, dan pekerja teater yang akan mementaskannya harus memperhatikan keterangan tempat, waktu, dan suasana yang terdapat pada teks samping atau teks nondialog (Wiyatmi 2006: 52).

4) Tema

Tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon drama, yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik (Wiyanto, 2002: 23). Waluyo (2003: 24) menyatakan tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik melalui tokoh-tokoh protagonis dan antagonis dengan perwatakan yang memungkinkan terjadinya konflik dan diformulasikan dalam bentuk dialog (Waluyo 2001: 24). Dengan kata lain, tema ini menjadi dasar untuk pengembangan cerita.

5) Amanat

Seorang pengarang drama, sadar atau tidak sadar, pasti menyampaikan amanat atau pesan dalam karyanya. Pembaca dan penonton mencari amanat dari drama yang dibacanya atau pementasan yang ditontonnya. Pembaca yang teliti akan menangkap amanat yang tersirat di balik yang tersurat. Amanat bersifat subjektif. Artinya, pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna atau amanat karya itu bagi dirinya (Waluyo, 2003:28).

Menurut Waluyo (2001: 28), amanat sebuah drama akan lebih mudah dihayati penikmat, jika drama itu dipentaskan. Melalui pelajaran moral, pesan- pesan kebaikan, empati pada isu-isu kemanusiaan, dan sebagainya, drama akan memberikan manfaat dalam kehidupan. Selain kemanfaatan, tentu saja membaca teks drama atau menonton pementasan drama akan membuat pembaca atau penonton menjadi terhibur.

6) Dialog

Dialog merupakan ciri khas drama. Dialog dilakukan oleh para tokoh dan harus mendukung karakter tokoh yang diperankan. Dialog ini menggerakkan alur drama. Karena drama adalah gambaran kehidupan, maka dialog juga harus menggambarkan kehidupan para tokohnya. Menurut Waluyo (2003:20), ragam bahasa dialog adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan bahasa tulis. Hal ini disebabkan drama adalah potret kenyataan yang diangkat ke dalam pentas. Sebagai contoh, dialog ibu dan anak dalam keseharian menggunakan bahasa lisan yang tidak formal. Jika dalam pementasan bahasa ibu dan anak menggunakan bahasa tulis dan formal, maka relasi atau hubungan ibu dan anak menjadi tidak alami dan tidak hidup.

Selain komunikatif, Waluyo (2003:21) juga menyatakan bahwa dialog dalam drama harus bersifat estetis atau memiliki keindahan bahasa. Bahkan, kadang-kadang dialog harus bersifat filosofis dan mampu mempengaruhi keindahan. Hal ini disebabkan kenyataan yang ditampilkan dalam pentas harus lebih indah dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi dalam dunia nyata.

Menurut Waluyo (2003: 22), dialog juga harus hidup, artinya mewakili tokoh yang dibawakan oleh para pemain. Watak secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis dapat diwakili oleh dialog itu. Sebagai contoh, seorang tokoh dengan fisik yang lemah, sakit, kritis, dan sakaratul maut tidak mungkin bersuara keras dengan mimik wajah yang cerah ceria.

7) Lakuan

Lakuan merupakan gerak-gerik pemain di atas pentas. Lakuan harus berkaitan dengan alur dan watak tokoh. Lakuan adalah proses perwujudan adanya sebuah konflik di dalam sebuah drama. Konflik adalah hal yang bersifat dramatik. Dalam sebuah drama, lakuan tidak selamanya badaniah dengan gerak-gerik tubuh. 

Akan tetapi, lakuan dapat juga bersifat batiniah atau laku batin, yaitu pergerakan yang terjadi dalam batin pelaku, yang dapat dihasilkan oleh dialog. Dialog akan menggambarkan perubahan atau kekusutan emosi yang terungkap dalam sebagian dari percakapan pelakunya. Di sini situasi batin dapat pula terlihat dari gerak-gerik fisik seseorang, yang disebut sebagai dramatic action yang terbaik (Grabanier dalam Wiyatmi, 2006: 52-53). Karena itu, Waluyo (2003:20) menyatakan bahwa diksi dalam dialog harus disesuaikan dengan dramatic action ini.

8) Teks Samping

Teks samping atau petunjuk teknis mempunyai nama lain yaitu kramagung. Dalam bahasa Inggris sering disebut stage direction. Sesuai namanya, teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya pemain, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping yang lengkap akan membantu sutradara dan para pemain dalam menafsirkan naskah. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog, misalnya huruf besar, huruf miring, atau di dalam kurung buka dan kurung tutup (Waluyo, 2003:29)

Untuk memahami unsur-unsur ini, bacalah naskah drama “Operasi” karya Putu Wijaya berikut ini.

ADEGAN II

OPERASI

Naskah Drama Putu Wijaya

ENTAH KARENA APA AKHIRNYA YANG TERTIDUR ITUPUN TERBANGUN. IA MELIHAT SEKELILING. IA SUDAH BERADA DI RUANG PRAKTEK DOKTER. TERLIHAT BERBAGAI ALAT ATAU HIASAN YANG SESUAI DENGAN SEBUAH RUANG DOKTER. RUANG ITU SEPI. TIDAK ADA APA-APA KECUALI ORANG ITU. LALU ORANG ITU BERANJAK. IA MENGAMATI BENDA-BENDA DI RUANGAN ITU. KETIKA TENGAH KEASYIKAN MENGAMATI, DOKTER MASUK.

DOKTER: Selamat sore!

PASIEN (terkejut): oh, maaf selamat sore!

DOKTER: Ada yang bisa saya Bantu?

PASIEN: Anda dokter yang praktek di sini?

DOKTER: Benar!

PASIEN: Syukurlah! Saya sudah lama menunggu anda!

DOKTER: O, (tersenyum maklum) silahkan duduk!

PASIEN: Terima kasih (bergegas duduk)

DOKTER: Nama anda siapa?

PASIEN: Nama? Oh, nama saya (menyebut nama)

DOKTER: Hmm. Apa keluhan anda?

PASIEN: O, saya sedang butuh seorang dokter

DOKTER: Tentu saja, anda sudah datang kemari

PASIEN: Tetapi saya tidak sedang menderita penyakit dokter!

DOKTER: Lantas?

PASIEN: Saya kemari juga tidak minta untuk diobati dok!

DOKTER: Ya, ya! Tapi coba ceritakan apa keluhan anda sebenarnya?

PASIEN: O, begini dokter, Muka saya ini terlalu umum dokter! Sama sekali tidak ada ciri yang khas dan istimewa. Coba amati muka saya… muka saya ini sama saja dengan berjuta-juta orang Indonesia lainnya. Mata saya tidak sipit seperti orang Jepang juga tidak lebar seperti orang Bule. Hidung saya ini dok, tidak mancung juga tidak dapat dikatakan pesek. Ah, kalau nama saya ini saya ganti yang aksi misalnya (menyebut satu atau dua nama) juga tidak membuat saya berbeda dokter. Itulah yang membuat saya merasa hambar dan seperti berjalan di jalan datar yang panjang dan membosankan. Pantas saja kalau saya melamar jadi bintang film, tidak ada yang mau menerima.

DOKTER: O, jadi anda mau jadi bintang film?

PASIEN: Begitulah!

DOKTER: Jadi anda datang kemari mau dioperasi supaya bisa diterima jadi bintang film?

PASIEN (mengangguk)

DOKTER: Itu mudah, sebentar.

PASIEN: E…kenapa anda memandang seperti itu. Ada yang salah pada diri saya?

DOKTER (tersenyum): Jangan khawatir itu salah satu cara saya untuk mencari rumus dan kunci pada wajah anda. Sehingga nantinya saya mudah untuk melakukan operasi

PASIEN: Oh.

DOKTER: Ya. Saya sudah menemukannya. Anda mau dibuat cantik seperti siapa?

PASIEN (terperanjat): Apa dokter bilang? Cantik? Jangan dokter, jangan bikin saya cantik?

DOKTER: Lantas?

PASIEN: Kedatangan saya kemari adalah ingin menjadi orang yang berwajah jelek, bahkan terjelek di seluruh muka bumi ini!

DOKTER (tertawa): Anda bercanda!

PASIEN: Saya tidak bercanda dan ini bukan lelucon. Ini serius dok! Saya benar-benar ingin menjadi orang yang paling jelek, jelek, dan jelek sekali. Kalau bisa lebih jelek dari si (menyebut satu atau dua nama) sudahlah siapa saja pokoknya jelek.

DOKTER: Jadi anda benar-benar serius?

PASIEN: Ya. Buat wajah saya sejelek mungkin. Pesekkan hidung saya atau rusak mulut saya, ubah mata saya atau terserah dokter. Dokter kan tahu sendiri! Yang penting saya bisa komersil!

DOKTER (tampak kebingungan)

PASIEN: Dokter kok kelihatannya bingung.

DOKTER: Tentu saja saya bingung sebab selama ini belum ada yang datang kemari yang minta supaya mukanya dirusak. Rata-rata mereka minta supaya dibuat ganteng atau cantik. Lihat saja surat-surat pujian dan piagam penghargaan itu, atau lihat foto- foto itu, itu adalah hasil kerja saya dan rata-rata mereka puas.

PASIEN: Tapi apa susahnya merusak? Merusak itu lebih mudah daripada membuat ganteng atau cantik!

DOKTER: Saya tahu, tapi…

PASIEN: Tapi apa dokter?

DOKTER: Saya tidak bisa menjamin nanti setelah operasi dan wajah anda rusak, anda bisa komersil!

PASIEN: Dokter tidak usah ragu-ragu, saya yakin, nanti kalau rusak pasti komersil!

c. Unsur Pementasan Drama

1) Naskah Drama

Pementasan drama dilakukan berdasarkan naskah drama. Dalam naskah drama terdapat dialog dan teks samping yang akan menjadi panduan pementasan. Naskah drama ini biasanya dibagi menjadi babak demi babak dan adegan demi adegan. Dalam naskah drama termuat nama-nama tokoh dalam cerita, peran tokoh, dialog yang diucapkan, lakuan yang dilakukan para tokoh, alur cerita, dan penataan panggung.

2) Pemain (Aktor dan Aktris)

Pemain merupakan orang yang memerankan cerita di atas pentas. Aktor adalah pemain laki-laki, sedangkan aktris adalah pemain perempuan. Pemain ini akan menentukan jalan cerita drama. Karena itu, seorang pemain harus dapat memahami tokoh yang diperankan dan harus dapat memerankannya dengan penghayatan yang tepat. Dengan alasan ini, peran pemain ini sangat penting dalam pementasan sehingga Waluyo (2003:35) menyatakan bahwa aktor dan aktris menjadi tulang punggung pementasan. Dengan aktor dan aktris yang tepat dan berpengalaman, serta didukung naskah dan sutradara yang baik, sebuah pementasan akan menjadi bermutu.

3) Sutradara

Menurut Waluyo (2003:36), tugas sutradara adalah mengkoordinasi segala anasir pementasan, sejak latihan sampai dengan pementasan selesai. Tugas sutradara meliputi mengurus acting para pemain, mengurus kebutuhan yang berhubungan dengan artistik dan teknis. Bahkan, urusan musik, tata panggung, tata lampu, tata rias, kostum, dan sebagainya diatur atas persetujuan sutradara. Dengan tugas-tugas ini, dapat dipahami bahwa tugas sutradara tidaklah ringan dan mudah.

Selain penguasaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pentas, seorang sutradara juga harus memiliki kemampuan manajemen dan komunikasi yang bagus. Sebagai pemimpin pementasan, seorang sutradara mengkoordinir banyak sekali orang, mulai dari pemain, tim tata rias, tim kostum, tim teknis panggung, dan sebagainya. Meskipun sebagai pemimpin pementasan, seorang sutradara tetap harus mengakomodasi usulan dari tim.

4) Tata Rias

Tata rias adalah seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan wajah peran sesuai tuntutan lakon (Waluyo, 2003:131). Karena itu, penata rias dalam pementasan drama harus memahami peran apa yang akan dimainkan oleh pemain yang diriasnya. Terkait dengan watak dimensional, penata rias harus memahami dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis tokoh. Karena itu, tugas penata rias tidak sekadar membuat aktor menjadi ganteng dan aktris menjadi cantik, tetapi lebih dari itu adalah merias sesuai karakternya. Penata rias memahami teknik membuat kumis atau jenggot buatan, teknik membuat pemain tampak galak, bahkan teknik membuat pemain menjadi menakutkan seperti hantu. Secara lebih spesifik, seorang penata rias harus memiliki teknik seni dalam merias, seperti teknik shading hidung, meniruskan pipi, memajukan gigi, menebalkan mata, membuat keriput, membentuk alis dan teknik lainnya. Selain itu, penata rias juga harus terampil dan cekatan mengingat pemain yang dirias bisa jadi banyak dengan teknik rias yang membutuhkan waktu yang lama. Penata rias harus memiliki manajemen waktu yang baik sehingga pemainnya bisa siap sebelum pementasan dimulai.

5) Tata Busana

Penata busana dalam pementasan drama membantu aktor membawakan perannya sesuai tuntutan lakon (Waluyo, 2003:134). Penata busana mengatur pakaian pemain, seperti bahan, model, dan cara mengenakannya. Tata busana tidak bisa dipisahkan dengan tata rias. Karena itu, penata rias dan penata busana harus bekerja sama untuk saling menyesuaikan dan saling membantu untuk menciptakan tokoh yang hidup dalam pementasan.

Untuk pementasan dengan latar waktu dan latar sosial yang khas, penata busana harus melakukan riset untuk menentukan kostum yang tepat. Sebagai contoh, pementasan drama dengan latar waktu sebelum kemerdekaan memerlukan busana-busana yang sesuai dengan masanya. Begitupun untuk pementasan dengan latar sosial tipikal Suku Dayak. Penata busana harus detil memahami jenis kostum yang tepat.

6) Tata Pentas

Tata pentas adalah segala hal yang terkait dengan penataan tempat pementasan. Istilah tata panggung biasanya digunakan untuk pementasan di panggung. Namun, pementasan dapat juga dilakukan di arena, tanah lapang, ruangan, atau tampat yang lain. Penata pentas biasanya dilakukan secara tim. Panggung atau tempat pentas lainnya mendeskripsikan tempat, waktu, dan suasana yang terjadi. Tata pentas ini berhubungan dengan tata lampu dan tata suara.

7) Tata Lampu

Penata lampu bertugas mengatur pencahayaan di panggung. Karena itu, bagian ini sangat terkait dengan tata panggung. Tata lampu dalam pementasan tidak sekadar memberi penerangan selama pementasan. Lebih dari itu, lampu memiliki banyak fungsi. Fungsi tata lampu menurut Waluyo (2003:137-138) di antaranya adalah memberi efek alamiah dari waktu (misalnya jam, musim, cuaca, dan suasana), membantu melukis bayangan, mengekspresikan mood dan atmosfer lakon, dan sebagainya.

8) Tata Suara

Tata suara bisa terkait pengaturan pengeras suara (sound system), microphone, musik latar, musik dan suara-suara pengiring, dan sebagainya. Menurut Waluyo (2003:148), musik dapat menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak justru digunakan sebagai ilustrasi, baik sebagai pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai penutup lakon. Tata suara berfungsi memberikan efek suara yang diperlakukan lakon, seperti bunyi suara burung, suara tangis, suara kereta api, dan sebagainya. Untuk memberikan efek tertentu, musik sering digabung dengan suara (sound effect).

Di dalam naskah, tata suara ini sering kali tidak tidak dijelaskan secara detil. Informasi dalam teks samping biasanya bersifat umum, seperti musik pelan, gaduh, sendu, atau sedih. Musik pengiring sebaiknya berada di balik layar agar tidak mengganggu para pemain dengan volume yang tepat.

9) Penonton

Penonton menjadi unsur penting dalam pementasan drama. Kesuksesan sebuah pementasan drama dapat dilihat dari respon para penonton. Penonton akan mengapresiasi pementasan sesuai dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, ideologi, minat, dan sebagainya.

d. Jenis Drama

Menurut Siswanto (2008:165), berdasarkan masanya, drama dapat dibagi menjadi dua, yaitu drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional dan modern ini, menurut Wiyanto (2002:11-12), merupakan pembagian drama berdasar ada tidaknya naskah.

1) Drama Tradisional

Menurut Siswanto (2008:165), drama tradisional atau drama rakyat (folk drama) adalah drama yang lahir dan diciptakan masyarakat tradisional. Drama ini digunakan untuk kegiatan sosial dan keagamaan seperti menyambut datangnya panen, menyambut tamu, sarana ritual atau mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Contoh drama tradisional di antaranya wayang orang, wayang ludruk, ketoprak, lenong, dan tari topeng. Menurut Wiyanto (2002:11), drama tradisional tidak menggunakan naskah. Jika pun ada, naskah hanya berupa kerangka cerita dan beberapa catatan yang berkaitan dengan permainan drama. Dalam drama tradisional, watak tokoh, dialog, dan gerak geriknya diserahkan sepenuhnya kepada pemain.

Salah satu drama tradisional adalah kethoprak. Beberapa lakon kethoprak di antaranya Panji Asmorodono, Angling Darmo, Kijang Kencana, dan sebagainya. Menurut Nusantara (1997:56), ciri umum kethoprak ialah tidak menggunakan skenario atau naskah penuh, dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, dialog bersifat improvisasi, akting dan bloking bersifat intuitif, tata busana dan tata rias realis, musik pengiring gamelan Jawa (slendro dan pelog), menggunakan keprak dan tembang, lama pertunjukan sekitar 6 jam atau lebih, dan tema cerita dan pengaluran bersifat lentur.

2) Drama Modern

Menurut Siswanto (2008:165), drama modern adalah drama yang lahir pada masyarakat industri. Drama semacam ini sudah memanfaatkan unsur teknologi modern dalam penyajiannya. Dalam seni teater modern, tata busana, tata rias, tata lampu, tata ruang, dan tata panggung dikemas modern, bahkan sudah ada yang menggunakan teknologi modern, film, animasi, dan komputer. Ceritanya selalu berkembang dan tidak selalu merujuk pada cerita tertentu. Menurut Wiyanto (2002:12), drama modern sudah menggunakan naskah yang memuat nama pemain, dialog, dan teks samping.

e. Apresiasi Drama

Ada banyak cara untuk mengapresiasi drama, di antaranya menginterpretasi drama, merefleksi nilai-nilai drama, menulis teks drama, dan mementaskan drama. Semua aktivitas dalam rangka mengapresiasi drama akan memberi kemanfaatan pada pembaca drama atau penonton pementasan drama.

Menginterpretasi drama merupakan kegiatan menafsirkan makna drama yang dibaca atau pementasan drama yang ditonton. Setiap pembaca akan memiliki interpretasi yang berbeda, yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman intelektual, emosional, dan imajinasi masing-masing penafsir. Menginterpretasi atau menafsirkan drama/film ini sangat diperlukan untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang. Satu hal yang harus dilakukan untuk menginterpretasi drama adalah membaca dengan cermat dan berulang keseluruhan teks drama atau menonton keseluruhan pementasan drama.

Setelah menginterpretasi drama, pembaca dapat merefleksi nilai-nilai drama tersebut dalam kehidupan. Drama adalah tiruan dunia nyata. Pemain-pemain dalam drama mendramatisasikan permasalahan-permasalahan kehidupan. Kerena itu, nilai-nilai dalam drama pasti dekat dengan kehidupan pembacanya. Selain itu, apresiasi drama bisa dilakukan dengan menulis drama. Ide drama dapat diadaptasi dari cerpen, novel, puisi, diadaptasi dari cerpen, novel, puisi, dan sebagainya. Mengadaptasi dari karya yang sudah ada tidak selalu mudah. Untuk mengadaptasi dari karya yang sudah ada, penulis harus memahami isi karya tersebut sebagai bahan penulisan. Setelah itu, dapat dirancang kerangka tulisan dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

Aktivitas apresiasi drama yang terakhir adalah mementaskan drama. Pementasan adalah sebuah tim yang terdiri dari pemain, penata rias, penata busana, penata pentas, petugas tata suara, dan sebagainya. Tim ini harus kompak dan saling memberi dukungan. Untuk membagi tanggung jawab, tugas-tugas dibagi secara merata. Namun, bukan berarti semua harus egois dengan tugasnya masing-masing. Diantara anggota tim harus saling melengkapi dan bekerja sama.

Untuk mementaskan drama, pemain harus memahami jalan cerita secara utuh. Setelah itu, dilanjutkan dengan perencanaan pementasan. Unsur-unsur pementasan drama dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan perencanaan. Beberapa hal yang terkait dengan perencanaan adalah pemilihan naskah yang akan dipentaskan, pembagian pemain dan penata teknis pementasan, dan jadwal latihan sampai pementasan.

Untuk menghasilkan pementasan yang bagus, tim harus banyak berlatih. Refleksi kemajuan latihan pementasan juga perlu dievaluasi. Kualitas latihan akan menentukan kualitas pementasan.

Post a Comment

To be published, comments must be reviewed by the administrator.

Previous Post Next Post